Korban Gempa Alor Mengeluh tentang Kesehatan Mereka

22.28


Awal bulan November 2015 menjadi momen berkah sekaligus musibah bagi negeri ini. Di antara kebahagiaan yang tercipta musim hujan yang perlahan mulai datang, terselip beberapa musibah silih berganti dari barat hingga timur Indonesia. Mulai dari gempa di Aceh, meletusnya Gunung Barujari, Nusa Tenggara Barat, hingga gempa bumi yang mengguncang tanah Alor, Nusa Tenggara Timur.
Gempa Alor menggoyangkan beberapa wilayah kepulauan di sekitar Nusa Tenggara Timur. Guncangan terasa cukup keras pasalnya kekuatan gempa berada di angka lebih dari 6 Skala Richter dan kedalaman gempa cukup dangkal.
Hingga tulisan ini diturunkan, masih banyak warga terdampak gempa Alor yang tinggal di tenda-tenda pengungsian. 1000 lebih rumah hancur karena gempa Alor ini.
Tiga hari pasca bencana, beragam penyakit biasanya mulai menyerang korban bencana. Demikian yang terjadi di Alor. Sejak gempa terjadi di Alor, 4 November 2015, warga mulai rentan terhadap penyakit, seperti muntaber, diare dan ISPA.
Hal itu dikemukakan Kepala Puskesmas Lantoka, Kecamatan Alor Timur, Chalonana Bana (40), Selasa (10/11).
Untuk mengantisipasi jatuhnya korban jiwa akibat serangan penyakit, Aksi Cepat Tanggap (ACT) menurunkan tim medis di Desa Maukuru, Kecamatan Alor Timur. Personel yang diturunkan terdiri dari seorang dokter, dua bidan dan dua apoteker. Tim Medis tersebut menggelar pelayanan kesehatan di lerengan Gunung Babi, dimana warga Desa Maukuru bermukim. Sebelumnya desa ini sempat terisolir karena jembatan penghubung desa dengan jalan lintas Pulau Alor terputus.
Entah memang membutuhkan atau bagaimana, kedatangan Tim Medis ACT disambut antusias warga desa, bahkan sebelum pihak ACT mengumumkann kegiatan layanan kesehatan. Mereka datang berbondong-bondong dengan senyum mereka yang khas warga Indonesia bagian Timur.
Saul Modena (46) tokoh masyarakat Desa Maukuru mengatakan kegiatan pemeriksaan dan pengobatan gratis memang sudah ditunggu-tunggu warga. Sejak gempa terjadi, sejumlah warga korban, memang terlihat kurang sehat.
“Puji Tuhan, akhirnya datang juga tim medis ke Desa kami,” ujarnya. Saul pun sebelumnya tak menyangka kalau tim medis yang pertama kali mendatangi Desanya pasca gempa justru dari ACT.
“Terimakasih ACT, jauh-jauh dari Jakarta datang ke Maukuru untuk membantu kami, mulia sekali,” ujarnya tanpa tedeng aling-aling.
Antusiasme warga sempat membuat Dokter Amalia Anna Heirani kewalahan. Pasalnya, yang antri cukup banyak. Keringat pun mengucur kendati lokasi pelayanan kesehatan dilakukan di tempat terbuka di bawah pohon rindang.
Namun dokter asal Sumatra Utara tetap menunjukkan profesionalisme-nya sebagai relawan tenaga media. Sesekali Dokter Amalia mencandai pasiennya.
“Sengaja saya mengajak bercanda para pasien, karena pasca bencana gempa biasanya tingkat stres sangat tinggi. Ini sudah terbukti saat Gempa Alor 2004 dan Gempa Jogja 2006, saat itu jumlah korban stres sangat tinggi bahkan sampai lupa ingatan,” ujarnya.
Kegiatan pemeriksaan dan pengobatan yang berlangsung seharian itu didatangi 191 pasien mulai dari bumil, bayi, balita hingga lansia. Mayoritas warga mengeluhkan diare, ISPA dan asam lambung.
Arapah Laka (30) Ketua MRI Pulau Alor menegaskan agenda layanan medis akan terus dilaksanakan dengan menjangkau lebih banyak lagi desa-desa terdampak gempa.
“Kami akan terus blusukan mendatangi warga, terutama yang berada di lokasi-lokasi yang sulit dijangkau. Fase emergency ini kami maknai dengan totalitas dalam pelayanan terhadap para korban gempa,” kata Arapah mantap. (act.id)

Previous
Next Post »
0 Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Submenu Section

Slider Section