Cerita Tentang Rohingya, Antara Namuja dan Nasi Horoi

20.42

Namuja dan Nasi Haroi
Sore itu, Senin (24/8), satu orang wanita paruh baya, Namuja Hajun kelihatanasyik bersama kegiatan memasaknya di depan shelter lokasi tinggalnya di komplek Integrated Community Shelter (ICS) Perbuatan Serentak Tanggap (ACT) di Blang Adoe, Kuta Makmur, Aceh Utara. Mulutnya pula tidak henti mengunyah daun sirih, yg menciptakan mulut & giginya merah kehitaman.Dirinya tak peduli dgn beberapa orang yg dulu lalang di depan rumahnya. Wajan hitam nangkring di atas bata merah yg dijadikan tungku, api mungilmenyala, makanan diatas wajan juga keluarkan sedikit asap.
Kegiatan Namuja pass menarik perhatian. Banyaknya anak-anak Rohingya ikut nongkrong menonton Namuja memasak. Apa yg dimasaknya?
“Horoi, horoi,” menurutnya. Namuja coba memaparkan dgn bahasa isyaratsebab beliau tidak mengerti tidak hanya bahas Rakhine. Husein, yg dikenal di komplek sbg salah satu Rohingya yg dikenal fasih berbahasa Indonesia, tepatnya Melayu, ikut menunjang menuturkan. Kata Husein, yg sedang dimasak Namuja yakni nasi sisa tempo hariyg dijemur dulu digoreng. Akumelihatnya nasi sisa itu digoreng tidak dengan minyak alias disangan. “ Itu bat (nasi) horoi,” jelasnya. Dijelaskan Husein, memasak ulang nasi sisa, ygterkadang telah basi, perihal yg biasa dilakukan ibu-ibu Rohingya.
Apa yg menyebabkan Namuja & ibu-ibu Rohingya di kampungnya di Myanmar, biasa jalankan ulang nasi sisa mereka. Anak-anak remaja Rohingya yg ikut berkerumun memperhatikan kami berdialog, tiba-tiba ada yg menimpali.
“Nasi dibuang, Allah beram. Nasi dibuang, Allah geram,” tuturnya. Remaja laintampak mengangguk-angguk. “ Nasi dibuang, Allah beram,” beliau menimpali.Saya pula mafhum. Beberapa Orang Rohingya tak menyukai membuang-buang makanan, sebab mubadzir. Satu Buah pemahaman muslim, yg melahirkanetika memasak horoi ibu-ibu muslimah Rohingya di Myanmar.
Kegiatan Namuja ini mengingatkan kita dapat tradisi perempuan-perempuan Indonesia di kampung-kampung. Memasak ulang nasi sisa serta aspek ygjamak dilakukan beberapa orang desa di Indonesia. Cuma saja orang desa Indonesia tak menggoreng sangan, tetapi digoreng dgn minyak maka nasi sisayg dijemur kering sampai keras itu mengembang menjadi renyah seperti kerupuk, jadilah apa yg dikenal di Jawa yang merupakan rengginang. Dijumlahnya area di Indonesia, barangkali namanya berbeda-beda.
Dulu macam mana rasa nasi horoi itu? apakah senikmat rengginang di Indonesia? Rasanya nyata-nyatanya sedikit asin & manis. Nasi horoi nyata-nyatanya dicampur sedikit garam & gula. Lumayan lama aku membiarkan horoi di mulut, hingga lumayan lunak buat seterusnya aku telan perlahan.
Apa yg sanggup dibekuk dari kisah Namuja & Nasi Horoinya? gimana jugafitrah manusia, mereka sesungguhnya mau apa yg mereka makan, hasil dari keringat sendiri. Jikalau juga menerima pemberian dari orang lain, cumabersifat darurat. & gerakan beberapa orang Rohingya ini, tidak cuma demi menikmati perjalanan hidup mereka disaat ini, serta memperlihatkan bahwa mereka pun senang menikmati sesuatu dari hasil keringat sendiri & mau pulashare apa yg mereka hasilkan bersama orang lain.
Namuja Hajun berasal dari Desa Barjafara, Myanmar. Dgn putrinya, Senuara Begum (14), berangkat dari kampung mereka, bersama maksud mencari amandgn menyusul anak-anak kandungnya, saudara putrinya Senuara, yg berada di Malaysia. Namuja nekat pergi bersama menumpang perahu kayu, bersama-bersama tetangganya sesama Rohingya yg pula berlatar belakang maksudrelatif sama : hijrah mencari bumi yg lain, yg lebih menjamin keamanan jiwa mereka . Perjalanan di tengah laut yg telah pasti tidak mereka duga diawal mulanya penuh bersama hal-hal yg menakutkan mereka, berujung di pantai Kuala Cankoi, Aceh Utara, Mei 2015. Sampai hasilnya mereka di tampung dgnbeberapa ratus Rohingya lain di ICS yg dibangun ACT.
Previous
Next Post »
0 Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Submenu Section

Slider Section